Rabu, 19 Agustus 2009

TRADISI MENYAMBUT RAMADHAN

Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat dinanti-nanti oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Di dalamnya penuh dengan barokah, rahmat, dan maghfiroh (pengampunan). Seluruh umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa sepanjang bulan itu. Selain ibadah puasa wajib, umat Islam juga mengisinya dengan ibadah-ibadah sunah seperti, sholat tarawih, tadarus Al Qur’an, pengajian-pengajian seperti kuliah shubuh, pengajian menjelang/sesudah shalat tarawih, pengajian buka bersama, infaq, shodaqoh, zakat dan i’tikaf (memperbanyak ibadah di masjid) di sepuluh hari terakhir.
Di bulan Ramadan ini Allah “mengobral pahala”, dilipatgandakan bagi amal ibadah hambaNya. Peluang untuk meningkatkan amal ibadah pun terbuka lebar, sehingga digambarkan dalam sebuah hadits, bahwa di Bulan Ramadan pintu-pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. (HR. Muslim). Amat merugilah umat Islam yang diberi kesempatan menjumpai bulan Ramadan tetapi ia masuk ke dalam neraka, berarti dia tidak bias memanfaatkan kebaikan dan keberkahan yang ada di bulan Ramadan. Bahkan jika seorang muslim berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhori dan Muslim).
Bulan Ramadan menjadi wahana pengemblengan diri karena di dalamnya kia diwajibkan berpuasa sebulan penuh. Tujuan dari ibadah puasa di bulan ini adalah membentuk pribadi yang bertakwa. Takwa artinya menjalankan segala perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Setelah sebulan penuh umat Islam berpuasa, dan ditambah lagi dengan ibadah-ibadah lainnya diharapkan menjadi hamba-hamba yang bertaqwa.
Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat Islam, menyambut kedatangan bulan Ramadan jauh-jauh sebelumnya. Beliau biasa memperbanyak puasa sunah di Bulan Sya’ban. Beliau juga mengajarkan kepada umatnya untuk menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan. Sehingga beliau pernah bersabda, “Sekiranya ummatku tahu tentang keistimewaan bulan Ramadan, niscaya mereka berharap sepanjang tahun menjadi bulan Ramadan.”
Kedatangan bulan Ramadan senantisa disambut dengan kegembiraan oleh umat Islam. Seperti SMS ucapan selamat menjalankan ibadah puasa. Spanduk dan poster bertuliskan Marhaban Yaa Ramadan dipasang di sudut-sudut kota sampai pelosok desa, pertanda tingginya antusias masyarakat dalam menyambutnya. Dari sini terkesan bahwa masyarakat benar-benar mengalami suatu “peristiwa spiritual” yang mengantarkan mereka kepada permulaan transformasi dalam dirinya. Wajah masyarakat mengalami perubahan kualitatif ke tahap yang lebih baik. Ditambah gairah masyarakat dalam menjalankan ritual keislaman dalam bulan ini.
Menjelang Ramadan segala sesuatunya telah dipersiapkan. Baik persiapan fisik maupun hati. Persiapan fisik meliputi sarana dan prasana yang dibutuhkan untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah puasa. Seperti, mempercantik penampilan masjid dan musolla berikut fasilitasnya. Menyangkut kebutuhan keluarga, juga dipersiapkan sedemikian rupa sehingga menambah ketenangan saat menjalankan ibadah. Merancang kegiatan selama bulan Ramadan juga menjadi bagian persiapan fisik ini. Yang tidak kalah penting dan lebih utama adalah persiapan batin. Hakikat puasa adalah ibadah yang melatih diri seseorang untuk jujur, ikhlas, sabar, dan mengendalikan diri. Inilah pesan moral yang wajib dilaksanakan mengiringi ibadah puasa.
Khazanah budaya
Dalam khazanah budaya kita, banyak sekali tradisi menyambut kedatangan bulan Ramadan. Di Jawa minimal ada 3 (tiga) bentuk tradisi. Pertama, nyadran. Berupa ziarah kubur yang dilaksanakan di bulan Sya’ban dengan membersihkan makam leluhur seraya memanjatkan doa permohonan ampun bagi mereka. Inti dari acara nyadran adalah “birul walidain” (bakti kepada orang tua), sekaligus sebagai wahana mengumpulkan “balung pisah”, yaitu sesama trah makam yang telah bertebaran dan tinggal di luar daerah.
Kedua, megengan. Berupa kenduri menjelang bulan Ramadan. Megengan berasal dari bahasa Jawa yang berarti menahan. Makna simbolisnya adalah di saat orang Jawa memasuki puasa Ramadan harus dengan berbuat baik terhadap sesama. Dalam kenduri megengan, dilantunkan doa-doa permohonan keselamatan dan kebahagiaan lahir batin bagi seluruh keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Tradisi megengan tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat. Namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Bahkan barangkali tradisi megengan inilah yang kemudian menciptakan tradisi pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus. Ada tiga sajian makanan yang khas dalam megengan, yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem (berasal dari bahasa arab afwan) berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.
Ketiga padusan. Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Tradisi berupa mandi dan keramas tersebut secara harfiah dapat dimaknai sebagai persiapan fisik dan batiniah agar dalam memasuki puasa di bulan Ramadan dengan hati suci. Di Sunda dikenal dengan tradisi kuramas, sedang di Sumatera dikenal dengan tradisi Balimau.
Padusan dilakukan dengan adus kramas, mandi besar, untuk menghilangkan hadast besar dan kecil. Padusan dapat dilakukan dimanapun dengan menggunakan air suci dan yang menyucikan. Dengan demikian tidaklah perlu untuk melakukan padusan harus di suatu belik atau sumber air tertentu, harus memakai air tujuh rupa, air tujuh sumber dll. Memang tradisi yang saat ini telah salah kaprah terkesan padusan harus dilakukan di tempat yang wingit, angker ataupun bertuah. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak bersifat gugon tuhon semata.
Jaman memang senantiasa berubah, namun nilai-nilai budaya yang senantiasa relevan dengan tata nilai manusia hendaknya tetap dilestarikan hingga anak cucu kelak di kemudian hari. Tentu saja selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Pola pikir yang kaku terkadang memandang bentuk budaya sebagai sesuatu yang sudah baku sehingga manakala diketahui ternyata kurang sesuai dengan ajaran Islam, justru bentuk-bentuk tradisi tersebut yang dihilangkan.
Di sisi lain tradisi hanya dijalankan sebagai seremonial belaka sehingga kehilangan ruh dan pesan sosial yang terkandung di dalamnya. Akibatnya terjadi pergeseran nilai-nilai budaya. Seperti tradisi padusan yang dilakukan di tempat pemandian atau kolam renang umum. Sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang koridor aturan agama masih tetap diindahkan. Misalkan saja tempat pemandian bagi kaum laki dan perempuan terpisah, dan tidaklah pantas apabila mandi telanjang bulat. Dengan demikian sebatas pada koridor norma, padusan dimanapun tidaklah menjadi masalah. Namun demikian satu hal yang semestinya dikedepankan dan diluruskan adalah hakikat dan tujuan daripada padusan itu sendiri agar jangan sampai luntur, atau bahkan berganti dengan kepentingan nafsu syahwat.
Sebenarnya, aneka ragam tradisi di atas merupakan aset kebudayaan yang tak ternilai harganya bagi bangsa kita. Pemahaman masyarakat akan hakekat dan pesan yang terkandung di dalam setiap bentuk tradisi akan berperan bagi masyarakat itu sendiri dan keberlangsungan sebuah tradisi. Bahkan masyarakat akan membuat terobosan baru agar tradisi-tradisi tersebut sesuai dengan ajaran agama yang melatar belakanginya dan kondisi zaman yang dilaluinya.
Marhaban ya Ramadan. Semoga kita diberi kekuatan untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.