Sabtu, 23 Mei 2009

PENDIDIKAN POLITIK ALA MTA

PENDIDIKAN POLITIK ALA MTA

Tri Harmoyo

Sebetulnya tak ada satupun orang hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu yang lepas dari politik. Pendek kata tak ada orang yang tidak berpolitik. Kalau ada yang mengatakan saya tidak berpolitik, tidak berpolitik itulah politiknya orang yang tidak berpolitik.

Ada orang bilang “politik itu kotor”. Ungkapan inilah yang sering kita dengar dari masyarakat dan mungkin sudah menjadi paradigma yang mewarnai fikiran mereka. Setidaknya ungkapan tersebut muncul dari beberapa sebab yang melatarbelakanginya. Mungkin, ungkapan tersebut sengaja dimunculkan dari pihak mereka yang berpolitik dan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan menghasung lawan-lawan politiknya agar tidak berpolitik, maka ia menyebarkan virus ungkapan bahwa politik itu kotor. Sehingga bagi mereka yang semula hendak berpolitik tidak jadi lantaran takut dicap kotor oleh masyarakat karena terjun ke politik.

Kedua, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah. Betapapun banyaknya politikus yang bersih dalam mempertahankan idealismenya untuk memperjuangkan aspirasi rakyatnya namun ternyata lebih banyak para politikus yang kotor. Baik hanya di muka tapi di belakang berbuat dusta. Korupsi, kolusi, nepotisme sudah mendarah daging pada diri para politikus. Banyak para da’i, ustadz bahkan kyai rela menjadikan dirinya sebagai tumbal untuk mengembalikan persepsi positif masyarakat akan politik. Tapi apa yang terjadi, mereka terseret ke dalam lumpur kotornya politik. Sebagaian mereka berusaha tetap mempertahankan idealismenya dalam berpolitik secara sehat, islami, syar’i, berakhlaq dan beradab. Tapi apa yang terjadi, mereka justru tersingkir dan bahkan disingkirkan oleh sesama politikus (yang kotor) atau sekedar tersingkir oleh sistem politik yang sudah merupakan jeratan lingkaran setan.

Tak ada pilihan lain kecuali kata-kata saya tidak berpolitik, untuk membuat citra diri yang bersih dari kotornya dunia politik. Tapi sekali lagi, tidak ada yang tidak berpolitik.

Di MTA, Al Ustadz Drs Ahmad Sukina, selaku Ketua Umum, Ustadz, sekaligus imam bagi warga MTA, sering menyatakan bahwa MTA bukanlah partai politik, bahkan tidak akan pernah menjadi partai politik. Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa MTA secara praktis tidak berpolitik. Bahkan Al Ustadz pernah menjelaskan, siapa saja, partainya apa saja, boleh mengaji di MTA. Tapi, kalau sudah sama-sama duduk mengaji di MTA, segala atribut partai harus dilepaskan. Karena kalau dalam majlis MTA ada beberapa partai, bisa menimbulkan perpecahan.

Pernyataan Al Ustadz tersebut amat sederhana, namun di dalamnya mengandung strategi politik yang luar biasa. Ada banyak hikmah sekaligus strategi politik dan pendidikan politik bagi warga MTA. Apalagi pada akhirnya, menjelang hari H warga MTA mendapat petunjuk dari para pengurus tentang siapa-siapa saja yang harus dipilihnya.

Pertama, MTA tidak berpolitik dan tidak akan menjadi politik. Ini merupakan strategi politik dakwah yang menjaga komitmen MTA sebagai lembaga yang bergerak di bidang dakwah Islam. Betapa banyak organisasi Islam yang terjun ke dalam politik --menjadi partai politik-- kemudian timbul tenggelam karena kekalahan, bahkan perpecahan karena kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.

Kedua, orang dari partai apa saja boleh mengaji di MTA. Tapi setelah sama-sama duduk di MTA hendaklah melepaskan atribut politiknya. Itu pernyataan singkat Al Ustadz. Tapi konsekuensinya, kalau memang sudah menjadi warga MTA jangan aktif di partai manapun, walau hanya sekedar ikut kampanye. Hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan Umat Islam khususnya intern MTA sendiri. Juga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda dari luar MTA, sehingga tidak mengurangi rasa simpatik dan intensitas silaturrahim. Betapa banyak jamaah pengajian yang pecah bahkan bubar, satu RT bentrok, gara-gara partai yang didukungnya berbeda.

Ketiga, MTA sebagai lembaga independen dan komitmen dengan gerakan dakwahnya, berusaha menjadi wahana silaturrahim di antara partai Islam yang ada. Sehingga ketika MTA tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap partai politik tertentu, tidaklah mengurangi simpatik dan intensitas silaturrahim bagi partai lainnya. Coba bayangkan seandainya MTA terang-terangan mendukung Partai Bulan Bintang, tentu partai-partai lainnya akan enggan dengan MTA. Dan ketika MTA tidak menyatakan diri mendukung partai tertentu, kita lihat partai politik apapun enjoy saja silaturrahim di MTA. Tentu saja masing-masing partai berharap mendapat dukungan dari MTA. Dan karena pernyataan MTA tidak berpolitik pula, yang menyebabkan tokoh-tokoh Islam yang menyatakan anti politik, anti demokrasi, anti pemilu merasa enjoy dengan MTA.

Anehnya, meskipun Al Ustadz selaku imam di MTA sudah menyatakan demikian, wartawan selalu saja meraba-raba mencari tahu ke mana dukungan MTA diberikan. Ingat kan, ketika peresmian Gedung MTA. Esoknya yang keluar di Koran headlinenya “MTA Beri Sinyal Dukung SBY.” Sehingga asumsi masyarakat mengira MTA mendukung SBY termasuk Partai Demokratnya. Tapi wartawan yang lain malah interest dengan Ponari dan Presiden disuguh ember.

Keempat, meski MTA menyatakan dirinya tidak berpolitik, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, MTA tetap turut mensukseskan pemilu. Baik sebagai pemilih atau sebagai panitia. Ini merupakan kontribusi besar MTA bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga rasa simpatik dari pihak pemerintah pun tumbuh. Tapi yang agak jelas, mensukseskan pemilu, menggunakan hal pilih merupakan sumbangsih kita sebagai warga negara baik, dan semoga tidak berlebihan kalau kita sebut sebagai bagian dari ketaatan kepada pemerintah (ulil amri).

Kelima, pilihan warga MTA adalah pilihan yang diharapkan membawa kebaikan bagi semuanya utamanya bagi kelangsungan dakwah Islam khususnya di MTA. Maka siapa yang dipilih, seluruhnya digariskan dari pimpinan pusat. Dari sini setiap warga MTA mengetahui tujuan utamanya berperan aktif dalam pemilu, yakni memilih calon wakilnya yang diharapkan membawa keuntungan bagi kelangsungan dakwah Islam. Pilihannya pun kompak, sesuai dengan yang digariskan dari pengurus sehingga menjauhkan perpecahan di antara sesama warga MTA. Dan yang paling utama adalah wujud ketaatan warga jamaah MTA kepada pimpinannya. Sebagaimana telah tertanam kuat di kalangan MTA khususnya dan ummat Islam pada umumnya, bahwa taat kepada pimpinan merupakan salah satu wujud ketaatan kepada Allah dan RosulNya, selama perintah pimpinan tersebut tidak bertentangan dengan Allah dan RasulNya.

Kembalikan kepada Allah

Inna sholaatii wa nusuukii wa mahyaayaa wa mamati lillahi robbil ‘alamin. Sesungguhnya sholatku, ibadah (sembelihanku), hidup dan matiku hanyalah untuk Allah robb sekalian alam. Maka, segala aktivitas hidup kita hanya karena Allah semata. Termasuk ketika warga MTA ngaji di MTA, warga MTA taat pada pimpinan untuk memilih ini dan itu, semuanya karena Allah ta’ala. Maka, ketika ternyata pilihan warga MTA tersebut ternyata tidak lulus, kita serahkan semuanya kepada Allah. Karena Allahlah yang Maha Menentukan. Boleh jadi kita mencintai sesuatu, tetapi ternyata sesuatu itu buruk bagi kita. Sebaliknya boleh jadi kita membenci sesuatu, tapi sesuatu itu baik bagi kita. Allah Maha Tahu kebaikan bagi kita, sedang kita tidak tahu.

Kekalahan mereka (caleg/partai) yang didukung MTA, adalah sebuah ujian bagai warga MTA. Apakah dengan peristiwa itu, warga MTA akan tetap istiqomah berpegang teguh pada jamaah dengan tetap mengedepankan ketaatan kepada imam jamaah di MTA? Atau sebaliknya, dengan peritiwa tersebut menjadikan sebagian jamahnya munafik, kasak-kusuk di belakang, menggerundal dan diam-diam berbuat makar di tengah-tengah jamaah. Atau bahkan dengan peristiwa mereka malah lari dari jamaah. Na’udzubillah. Semoga tidak terjadi[]