Sabtu, 06 Juni 2009

MEMILIH PEMIMPIN

MEMILIH PEMIMPIN
By : Teha Moyo

Pagi itu Kang Sukro berangkat ke TPS menggunakan hak pilihnya, belakangan sesudah seluruh keluarganya nyontreng di TPS yang tidak jauh dari rumahnya. Pemilu kali ini memang beda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kalo boleh di bilang inilah pemilu yang paling ruwet sepanjang sejarah. Kakek dan nenek Kang Sukro mengeluh, betapa susahnya mencari nomor urutan partai, apalagi nama caleg yang hendak dipilihnya.

“Piye to le …. kok pilihane saiki dadi angel banget?” keluh neneknya.

“Njih, ngoten meniko, menawi badhe milih pimpinan ingkang sae, njih mawi cara ingkang mboten gampil. Menawi tiyang sepuh rumiyin ngendiko, lunyu-lunyu penek’en. Dados, sanadyan pemilu sak niki susah, njih kedah dipun lampahi.” Jawab kang Sukro.

“Lha, piye nek sing tak pilih mengko salah. Aku dadi bingung trus tak corek wae sing pojok nduwur dhewe…. Nek kleru rak ora popo to, le ?!” Tanya neneknya lagi.

“Mboten sah kuwatir mbah, ingkang wenang milih tiyang dados pemimpin utawi mboten, niku namung Gusti Allah, semanten ugi naming Gusti Allah kang wenang ngangkat drajating tiyang utawi badhe ngasoraken. Dados, kita sedoyo namung usaha. Selaku warga negara ingkang sae, kita kedah nggina’akan hak pilih kita. Sak sampunipun kita milih, kita pasrahakan dhumateng gusti Allah mungguh hasilipun. Sing penting ampun pedot-pedot anggone nyuwun dhumateng Gusti Allah supados dipun paringi pimpinan ingkang sae.”

Mendengar nasehat Kang Sukro, neneknya pun kelihatan marem dan nglegowo. Selanjutnya kang Sukro beralih kepada kakeknya.

“Nek, njenengan pripun, Mbah Kung ?”

“Nek aku ora bingung, kabeh cetho welo-welo.” Jawab Mbah Kung dengan PDnya.

Kang Sukro pun keheranan. Perlahan ia tanya pada kakeknya, “Nomer pinten sik njenengan pilih ?”

“Kabeh tak coblos nomor 11”, jawab kakeknya singkat.

“Ha ! “ ….. Kang Sukro terkejut, kemudian tertawa. Padahal, sejak semula seluruh keluarga sudah sepakat dengan nasehat Kang Slamet, kakak tertua Kang Sukro, yang sebelum hari H pilihan sudah sowan pada Kyainya untuk minta fatwa, siapa saja caleg yang harus dipilihnya.

Tapi ya sudah. Itu semua hanyalah ikhtiar, usaha, proses, perkara hasil ya terserah Tuhan lah yang menentukan. Inikan hanya pemilu, pesta rakyat lah, biasa kita menyebutnya. Tapi kalo boleh dibilang, lebih pas disebut pesta pemimpin.

Sungguh beruntung kita hidup di negri yang gemah ripah loh jinawi ini. Kita tidak hanya kaya SDA (sumber daya alam), tapi juga SDM yang ngedap-edapi. Tak ada negara yang yang demokrasinya melebihi Indonesia. Pun tak ada negara yang mempunyai stock pemimpin sebanyak Indonesia.

Lihatlah, pemilu legislatif sudah berlalu. Dan marilah kita sambut pemilu presiden. Tapi sebelumnya harus kita sadari sepenuhnya, bahwa capres dan cawapres itu hanya wenang mencalonkan diri. Kita sebagai rakyat kecil hanya wenang milih. Perkara pilihan kita jadi atau tidak kita serahkan sepenuhnya kepada Allah penentu segala keputusan.

Memilih pimpinan pun harus pakai resep. Boleh saja resep kita berbeda-beda asal tujuannya sama yaitu untuk menyajikan hidangan yang lezat dalam sebuah pesta kerakyatan. Ada sebagian rakyat yang mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para pemimpin lama seperti Raja Majapahit, Raja Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan sebagainya.

Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui karya sastra, seperti Serat Joyoboyo hingga Ronggowarsito. Tapi yang jelas pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.

Yang memimpin sekarang adalah Satrio Pambuko Gerbang, pembuka paradigma perubahan ke arah zaman baru. Sesudah itu, pemimpin sejati muncul dengan tiga syarat berkualitas tinggi. Ia harus "satrio": cakap, ulet, pejuang, prigel, profesional, menguasai multi-masalah, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Tapi sekaligus harus lebih tinggi dari itu: "pinandhito" , tak terpesona oleh harta dan kedudukan, filosofi hidupnya matang mendalam, punya "wisdom", arif dan adil dalam kehidupan nyata, "spiritually grounded", berkadar pemimpin rohani, sekaliber "begawan", ustadz , kyai atau ulama.

Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa pemimpin ini sangat mengedepankan petuah-petuah yang tercantum dalam wahyu yakni Al Qur’an. Pemimpin yang berusaha menegakkan syariat Islam. Pemimpin yang membumikan Islam, mengajak rakyatnya, “udkhuluu fis silmi kaffah”. Sehingga nyatalah “rahmatan lil ‘alamin” dan terwujudlah “baldatun thoyibatun wa robbun ghofur”.

Kang Sukro tercenung sejenak, dalam hati bertanya, “Adakah pemimpin dengan kriteria satrio pinandhita sinisihan wahyu ? Ataukah hanya ilusi saja ?” Ia berharap, semoga sebelum hari H, Kang Slamet sudah mengantongi fatwa dari kyainya tentang pasangan capres dan cawapres yang harus dipilihnya. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar